Minggu, 29 Desember 2019

Resensi Novel Berjudul "GADIS PANTAI" Karya Pramoedya Ananta Toer


GADIS DESA
Karya : Pramoedya Ananta Toer



Judul                     : Gadis Pantai
Pengarang             : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                : Lentera Dipantara
Jenis                      : Novel fiksi
Sastra Angkatan  : 1970  an (pertama kali terbit)
Tahun terbit         : September 2011 (cetakan ke-7)
Jumlah halaman  : 272 halaman

Resensi                :
Sebuah karya berjudul Gadis Pantai karya Pramodya Ananta Toer ini menceritakan tentang seorang gadis belia yang berasal dari kampung nelayan di pesisir Utara Jawa Tengah, Kabupaten Rembang. Gadis belia berusia empat belas tahun itu cukup manis, dengan kulit langsat, mata agak sipit dan tubuh mungil, gadis itu menjadi bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.

Suatu hari seorang utusan pembesar dari kota Jawa Tengah datang ke kampung gadis pantai untuk menyampaikan pesan bahwa Bendoronya ingin menjadikan gadis pantai sebagai istrinya. Dinikahkanlah gadis pantai dengan sebilah keris, dan keesokkan harinya dengan ditemani bapak dan emaknya beserta kepala kampung dan beberapa warga, gadis pantai itu diantar ke kota menuju tempat persinggahan pembesar yang menjadikannya istri.Sebutan bendoro putri telah melekat pada sosok gadis pantai. Kini derajat gadis pantai lebih tinggi dibadingkan dengan warga di kampungnya. Sebuah dokar yang sudah disiapkan oleh bendoro untuk menjemput gadis pantai tersebut berhenti tepat didepan gedung bertingkat berdinding batu.

Ditinggalkannya segala kegiatan dan aktivitasnya di kampung nelayan, dilupakannya segala suasana kampung nelayan. Menumbuk udang kering, menjahit layar dan jala, lari larian di pasir pantai, bergurau bersama teman temannya, semua itu tidak dapat ia lakukan lagi. Kini ia harus tinggal di dalam gedung besar bertingkat berdinding batu itu. Membantu mengurus dan memerintah di kompleks keresidenan, paviliun, kandang kandang dan bahkan sebuah masjid. Segala keperluan dan kebutuhannya hanya tinggal memerintah saja. Gadis pantai dilayani oleh banyak bujang. Namun hanya ada satu seorang perempuan tua yang menjadi pelayan setia dan terdekatnya. Pelayan yang selalu membantunya, selalu mengajarinya kehidupan di dalam gedung itu, dan yang mengajarinya pula bagaimana cara melayani dan bersikap kepada bendoro.

Lewat pelayan tua itulah gadis pantai sadar, bahwa ia diambil pembesar ke kota bukan sebagai istrinya. Melainkan, Ia diambil oleh seorang pembesar untuk menjadi gundik pembesar itu dan menjadi seorang Mas Nganten (perempuan pemuas kebutuhan seks pembesar / istri percobaan priyayi). Walaupun menjadi perempuan utama di gedung itu, gadis pantai harus tetap tunduk dan menaati segala perintah bendoro (suaminya sendiri). Bahkan segala kegiatan dan aktivitasnya harus melalui izin bendoro terlebih dahulu. Gadis itu bagaikan berada dalam penjara. Bendoro pun sering meninggalkannya beberapa hari, hingga tujuh haripun pernah. Namun, ia kembali sadar bahwa ia hanyalah seorang Mas Nganten, ia bukan istri bendoro yang sesungguhnya. Kamar mereka berdua pun terpisah, bendoro akan tidur di kamar gadis pantai itu ketika bendoro sedang menginginkannya.

Suatu ketika Gadis Pantai kehilangan uang untuk belanja persiadaan makanan yang diberikan oleh bendoro. Saat itu gadis pantai sangat kebingungan karena takut bedoro murka terhadapnya. Namun ia sangat yakin bahwa tidak ada yang masuk di kamarnya kecuali dirinya, pelayan tua dan para agus (pemuda pemuda yang belajar di gedung itu) yang tadi membersihkan kamar gadis pantai. Gadis pantai sangat percaya pada pelayan tua yang sudah setia melayaninya selama dua tahun ia berada di gedung itu. Akhirnya ia bersama pelayan tua itu menemui para agus dan menanyainya. Namun, karena mereka tidak ada yang mengaku akhirnya gadis pantai dan pelayan tua menghadap pada bendoro. Setelah kejadian itupun pelayan tua diusir dari gedung itu karena sudah lancang menuduh para agus. Tinggallah gadis pantai sendirian tanpa ada pelayan setianya.

Hari demi hari ia jalani sendiri tanpa bantuan pelayan tua, dan tibalah seorang bujang baru bernama mardina -utusan bupati demak- , dia seorang anak jurutulis dari kota yg diutus bupati demak untuk melayani gadis pantai, mardinah sendiri masih termasuk kedalam kerabat bendoro (suami gadis pantai). Namun, kedatangannya bukan sekedar melayani gadis pantai saja, ia sangat berani dan selalu menantang gadis pantai. Lewat mardinah gadis pantai tau bahwa bendoro demak ingin menikahkan bendoro (suami gadis pantai) dengan perempuan bangsawan yang sederajat dengannya. Karena seorang pembesar dianggap masih perjaka apabila belum menikah dengan sesama bangsawannya, walaupun sudah berulang kali menikah dengan gadis kampung.

Kegelisahan mulai muncul pada diri gadis pantai. Tiga tahun sudah gadis pantai berada dalam gedung bertingkat itu dan ia mulai mengandung putra dari bendoro. Sembilan bulan gadis pantai mengandung dengan diliputi rasa kerinduan dan kekosongan karena tidak ditemani oleh bendoro. Janin yang dikandungnya pun dilahirkan dengan bantuan dukun bayi yang paling ahli di kota itu. Seorang bayi perempuan mungil kini ada dalam pangkuannya, namun setelah seminggu kelahirannya bendoro tak kunjung melihatnya. Gadis pantai sangat gelisah, kepada siapa bayi itu akan diserahkan kalau tidak pada bapaknya sendiri.

Tiga bulan setelah kelahiran putrinya, akhirnya bapak gadis pantai datang menemuinya ke gedung itu. Bapaknya memang sengaja diutus oleh bendoro untuk menjemput gadis pantai pulang kembali ke kampung nelayan. Ada hal yang paling menyakitkan selain gadis pantai diceraikan oleh bendoro, yaitu gadis pantai harus meninggalkan gedung itu dan tidak boleh lagi menginjakkan kaki di kota tempat bendoro tinggal dengan tidak membawa anakknya sendiri. Ia harus kembali pada kampung nelayannya dan meninggalkan anaknnya pada gedung berdinding batu itu.Hal yang sangat menyakitkan bagi gadis pantai ketika meninggalkan anaknya. Namun, ia tidak dapat berbuat apa apa, mengingat ia adalah hanya seorang sahaya dan rakyat kampung.

Hidup kembali pada kampung yang melahirkannya adalah impiannya saat ia di kota. Namun, rasa malunya jauh lebih besar daripada rasa kerinduan pada kampung halaman. Akhirnya, ia izin kepada bapaknya untuk meninggalkan kota dan kampung nelayannya untuk tinggal di kota kecil Blora dan berusaha mencari pelayan tua yang dulu setia dengannya untuk tinggal bersama.

.....


Biografi Singkat Pramoedya Ananta Toer


Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, tanggal 6 Februari 1925. Ayahnya adalah seorang guru yang mula-mula bertugas di HIS di kota Rembang, kemudian menjadi kepala guru di sekolah swasta di Boedi Oetomo sampai menjadi kepala sekolah tersebut. Ibunya anak seorang penghulu di Rembang. Pada tahun 1950 ia menikah dengan wanita yang sering datang ke penjara ketika ia di penjara. Pramoedya Ananta Toer menamatkan pendidikan di sekolah rendah (sekolah dasar) Institut Boedi Oetomo di Blora. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan selama 1,5 tahun ke Sekolah Teknik Radio Surabaya (Radio Volkschool Surabaya) di Surabaya (1940—1941). Pada tahun 1942 Pramoedya pergi ke Jakarta. Ia bekerja di kantor Berita Jepang Domei sebagai juru ketik. Sambil bekerja, ia mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942—1943) dan mengikuti kursus di Sekolah Stenografi (1944—1945). Selanjutnya, ia kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945) dalam mata kuliah filsafat, sosiologi, dan sejarah. Pada tahun 1945 ia keluar dari tempa kerjanya, yaitu Kantor Berita Jepang Domei dan pergi menjelajahi Pulau Jawa. Pada tahun 1946 Pramoedya menjadi anggota Resimen 6 Devisi dengan pangkat letnan dua Tentara Keamanan Rakyat yang ditempatkan di Cikampek. Ia kembali ke Jakarta tahun 1947. Tanggal 22 Juli 1947 ia ditangkap marinir Belanda karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda. Kemudian, ia ditahan di penjara pemerintah Belanda di Pulau Edam dan di di Bukit Duri, Jakarta, sampai tahun 1949. Pada tahun 1950—1951 ia bekerja di Balai Pustaka sebagai redaktur. Pada tahun 1952 Pramoedya mendirikan dan memimpin Literary dan Fitures Agency Duta sampai tahun 1954. Tahun 1953 ia pergi ke Belanda sebagai tamu Sticusa (Yayasan Belanda Kerja Sama Kebudayaan). Tahun 1956 ia berkunjung ke Peking, Tiongkok, untuk menghadiri peringatan hari kematian Lu Sun. Pada tahun 1958 Pramoedya Ananta Toer anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Jakrta (Lekra) yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Keterlibatnnya dengan Lekra menjadikannya harus berhadapan dengan seniman yang tidak sealiran, terutama yang menentang PKI, seperti dalam penandatanganan Manifestasi Kebudayaan. Pada tahun 1962 ia menjabat redaktur Lentera. Selain itu, ia juga menjadi dosen di Fakultas Sastra, Universitas Res Publika, Jakarta, sebagai dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai. Pada masa kejatuhan Partai Komunis Indonesia, Pramoedya dibuang ke Pulau Buru karena dianggap terlibat PKI yang saat itu PKI hendak menggulingkan pemerintah Republik Indonesia tanggal 30 September 1960. Ketika terjadi penangkapan terhadapnya, ia mendapatkan penyiksaan. Setelah itu, ia dipenjara di Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun hidup di pengasingan Pulau Buru. Karyanya yang ditulis selama dalam pengasingan itu pada umumnya dilarang diedarkan oleh Kejaksaan Agung. Setelah rezim Orde Baru jatuh, (1998), Pramoedya Ananta Toer dibebaskan dari pengasingan di Pulau Buru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar