Jumat, 29 November 2019

Resensi Novel BUMI MANUSIA karya Pramoedya Ananta Toer



Judul : Bumi Manusia
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : 17 Januari 2011
Isi : 535 hlm

Novel Bumi Manusia berlatar akhir abad 18, menampilkan suasana dengan sangat apik dan detail. Lokasi yang diceritakan pada buku Bumi Manusia yaitu Wonokromo pada akhir abad 19, yang merupakan kawasan perkebunan tebu, Surabaya, Blora. Ketika membacanya seolah-olah pembaca berada pada abad masa itu.

Bercerita tentang seorang keturunan Jawa, Minke, yang sering diperolok-olok oleh kaum totok belanda karena kulitnya, karena pribumi! Pram memberikan karakter minke sebagai manusia pribumi yang terpelajar, melawan penindasan terhadap dirinya, terhadap orang lain dan terhadap bangsanya. Minke bersekolah di H.B.S (Hogere Burger School)yaitu sekolah yang setara SMA yang tidak semua pribumi bisa bersekolah sampai sejauh itu, hanya keturunan minimal ningrat yang boleh bersekolah.

 Minke merupakan anak dari bupati kota B (disebutkan dalam novelnya seperti itu, mungkin maksud Pram adalah Blora karena menceritakan tentang RM. TAS) karena itulah dia dapat bersekolah di H.B.S. Tetapi hidup ditengah-tengah pergaulan eropa menjadikan pandangan minke menjadi pengagung eropa, dia melupakan tradisi dan adat jawanya, tradisi yang ada dari nenek moyangnya hilang begitu saja karena pengetahuan eropanya bahkan ia tidak mau memakai baju adat jawa karena sudah terbiasa dengan pakaian-pakaian eropanya. Hal tersebut sempat membuat geram ayahnya yang merupakan Bupati B akan tetapi sang ibunda lah yang terus mendukung anaknya minke agar melaksanakan apa yang ia cita-citakan, disini minke mengalami pencarian jati dirinya, seorang pribumi tapi pengagung eropa.

Adalah Robert Surhof teman sekaligus akan menjadi lawan, teman yang memiliki niat picik, serakah dan ingin mendapatkan apapun yang dia inginkan meskipun melakukan dengan cara-cara kotor. Suatu hari Robert Surhof mengajak minke berkunjung ke Wonokromo, sebuah perkebunan tebu dan perusahaan perdagangan, peternakan milik Nyai Ontosoroh (Nyai adalah sebutan bagi gundik-gundik kompeni). Perkebunan yang begitu luas dengan rumah yang bagai istana, selain perkebunan Nyai memelihara ternak karena pelataran nya sangatlah luas. Pertemuan kali pertama Minke dengan Annelies (putri dari Nyai Ontosoroh) menjadi poin penting dalam novel ini. 

Kisah Cinta pada pandangan pertama digambarkan oleh Pram begitu romantis. Annelies dideskripsikan oleh Pram sebagai Gadis indo-Belanda yang memiliki paras sangat cantik, bertubuh langsing, beramput pirang dan lurus, dikatakan bahwa kecantikannya melebihi Ratu Wilhemnia (Ratu belanda), mungkin akan membuat pembacanya jatuh cinta pada sosok Annelies. Walaupun taraf pendidikan Annelies tidak sampai H.B.S akan tetapi dia memiliki pesona luar biasa lainnya, yaitu di usianya yang masih dikatakan belia dia mampu mengurusi perkebunan dan peternakan dan membantu ibunya menjalankan perusahaan, karena ayahnya,Mellema, kelakuannya berubah 180 derajat yang dikatakan akibat pengaruh hobinya pelesiran dan mabuk-mabukan pada saat itu. 

Semenjak pertemuan pertama minke dan annelies sekiranya telah menimbulkan benih cinta dikeduanya, Minke yang terpandang terpelajar dan pintar dalam berbahasa belanda serta prancis membuat Nyai Ontosoroh kagum dan tak ragu menyetujui jika mereka berhubungan. Namun masalah lain timbul, Robert Surhof yang ternyata temannya memang mengincar annelies sejak lama, Robert berteman lama dengan kakak kandung annelies, Robert Mellema, tentunya surhof memandang annelies secara nafsu.

 Berbagai siasat ditempuh surhof untuk menjauhkan minke dari annelies. Suatu hari Annelies jatuh sakit karena memikirkan sang pangerannya, Minke, karena minke pernah berjanji kepada annelies pada kunjungan yang pertamanya bahwa dia akan menemuinya lagi beberap hari kedepan, namun sudah berminggu-minggu minke tidak berkunjung ke kediaman Nyai Ontosoroh. Akhirnya karena melihat anaknya sakit, Nyai menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mengirimkan surat kepada minke serta menjemput minke untuk bersedia tinggal di kediamannya.

 Begitu besar kisah cinta yang digambarkan antar Minke dan Annelies sehingga akhirnya mereka menikah walaupun banyak pertentangan dari orang tua Minke yang tidak menyetujui ia menikah dengan seorang keturunan Belanda. Namun yang menarik, Pram menyajikan novel selalu diluar dugaan, ketika kondisi pembaca tengah asik dan memiliki perasaan senang tiba-tiba pram membalikan kondisi tersebut menjadi terbalik.

 Kisah cinta antara Minke dan Annelies mengalami sesuatu yang sangat memilukan, yaitu karena Annelies anak dari seorang Gundik yang bernama Nyai Ontosoroh, akibatnya perkawinan antara Nyai Ontosoroh dengan Robert Mellema tidak diakui pengadilan tinggi belanda. 

Begitupun dengan pernikahan Minke dan Annelies tidak di akui pengadilan belanda karena tidak ada ijin orangtua sah dari annelies, hak asuh annelies diberikan kepada ibu tirinya di Belanda. Dan Akhirnya secara terpaksa Annelies harus angkat kaki dari dan pergi ke Belanda. Mendengar kabar tersebut Anneies kembali jatuh sakit dan selama berhari—hari dia tidak makan dan tidak bicara, kekecewaan yang mendalam dirasakan annelies, dia akan kehilangan cintanya, ibunya dan semua kenangan-kenangan dari masa kecilnya. Sementara Minke dan Nyai Ontosoroh tidak tinggal diam melawan ketidakadilan pengadilan putih belanda, minke dengan kepiawannya menulis pengaduan diberbagai media cetak telah menyalakan api para pembacanya, pendukung Minke tidak hanya sekedar kerabat-kerabatnya, kini seluruh masyarakat di wonokromo dan Madura ikut protes terhadap ketidakadlilan belanda. Namun apalah yang bisa dilakukan oleh seorang Pribumi terhadap pengadilan tinggi, semuanya tidak ada hasil. Annelies harus pergi ke Belanda dan terpisah dari pangerannya Minke. Hal tersebut merubah semua pemikiran minke yang semula pengagum belanda kini dia merasakan ketidakadilan, penjajahan, diskriminasi belanda terhadap pribumi.

Novel ini sungguh menarik dan sangat berkualitas, novel terbaik yang pernah saya baca! Novel lanjutan bumi manusia akan menjelaskan bagaimana kisah Annelies dan Minke serta perjuangan dan perlawanan mereka terhadap kompeni. Dalam novel pertamanya Pram belum menggambarkan siapa sosok Minke sebenarnya dan apa peran penting dalam kebangkitan nasional.

Minggu, 17 November 2019

Resensi novel karya Tere Liye "Sunset dan Rosie"




·         Judul : Sunset dan Rosie
·         Pengarang : Tere Liye
·         Penebit : Mahaka Publishing
·         Tebal :  426 halaman

Pendahuluan :
Tere Liye merupakan salah satu penulis yang karya-karyanya termasuk buku best seller.  Tere Liye sudah menghasilkan banyak karya diantaranya; Tentang Kamu, Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin, Hafalan Sholat Delisa, Bidadari-Bidadari Surga, Rindu, Pulang, Hujan, dan masih banyak lagi. Bahkan beberapa karyanya telah diadaptasi ke layar lebar yaitu; Hafalan Sholat Delisa (2011), Bidadari-Bidadari Surga (2012), Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin (2016), dll

Resensi Sunset dan Rosie

Cerita dalam novel Sunset dan Rosie dimulai ketika Rosie dan Nathan merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-13 di Pantai Jimbaran Bali sambil menikmati 47 detik pertunjukan indah langit. Tegar menyaksikan kebahagiaan mereka melaui video-streaming, anak-anak Rosie sungguh mengharapkan Tegar bisa berada disitu ikut merayakan kebahagiaan mereka. Namun kebahagiaan itu seketika hancur hanya dalam beberapa detik saja, hanya karena orang yang tega melakukan pengeboman ditengah-tengah keramaian disana. Tiba-tiba koneksi itu terputus dan Tegar menyaksikan kejadian mengerikan itu secara langsung. Tanpa banyak pikir dan tidak memedulikan rekannya di kantor ia langsung menuju bandara untuk terbang ke Bali melihat kondisi mereka. Ia melupakan semua rencana termasuk pertunangannya denga Sekar yang hanya tinggal diadakan besok pagi. Setibanya disana sudah banyak korban yang berjatuhan. Keluarga Rosie selamat kecuali Nathan yang sudah pergi untuk selama-lamanya. Dan Sakura anak kedua Rosie mengalami patah tulang pada tangannya. Kondisi ini membuat Rosie sedih berkepanjangan hingga membuatnya depresi dan kini ia dirawat di Shelter kenalan Clarice. Kini empat kuntum Rosie itu dirawat Tegar dan Oma di Resort. Tegar meninggalkan seluruh aktivitasnya di Jakarta termasuk janji kehidupan yang telah ia rajut bersama Sekar. Sungguh malang nasib ke-empat kuntum Rosie itu. 

Namun selang dua tahun berlalu Anggrek anak pertama Rosie sudah tumbuh menjadi remaja yang sedang merasakan cinta monyetnya. Sakura yang bangkit dari kejadian masa lalu dan kini ia terus berlatih bermain biola menggunakan tangan kirinya. Jasmin tumbuh dengan sikap yang jauh lebih dewasa daripada anak seusianya. Dan Lili masih menunjukan wajah polosya. Rosie sudah kembali ke Resort dan merawat anak-anak, sementara Tegar kini teringat oleh kenangan masa lalunya bersama Rosie, dan saat-saat menyedihkan ketika melihat Nathan menyatakan cintanya kepada Rosie di Gunung Rinjani. Namun itu adalah bagian masa lalu. Dan di Jakarta sana ada janji kehidupan yang harus Tegar penuhi untuk Sekar. Awalnya ke empat anak Rosie tidak marah akan kepergian Tegar dan akhirnya mereka pun mengerti apa yang terjadi. Rencana pernikahan Tegar dan Sekar pun akan dilaksanakan. Tegar sangat mengharapkan kedatangan Rosie dan keempat anaknya. Di tengah-tengah pesta Tegar melihat Rosie dan anaknya hadir di pesta tersebut dan tanpa terduga justru Sekar menghampiri Rosie dan meminta Tegar untuk menikahinya.

Hal menarik dapat kita jumpai dalam novel Sunset dan Rosie. Penamaan tokoh dalam novel sesuai dengan nama bunga yaitu : Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Entah bagaimana Tere Liye mengangkat nama tokoh berdasarkan nama bunga, tetapi itu justru menjadi hal menarik dalam novel Sunset dan Rosie. Selanjutnya adalah penggunaan bahasa sehari-hari yang memudahkan pembaca memahami novel ini. Penggunaan gaya bahasa yang tepat akan semakin menghidupkan berbagai suasana dan memunculkan empati ketika membaca novel ini. Suasana dalam novel ini begitu hidup dan digambarkan dengan baik menggunakan rangkaian kata dari gaya bahasa yang tepat.





Sumber  buku :

http://library.uny.ac.id/sirkulasi/index.php?p=show_detail&id=54971

Resensi buku kumpulan puisi W.S Rendra " Empat Kumpulan Sajak"






Judul buku                       : Empat Kumpulan Sajak Rendra
Cetakan Kedua               : 1978, Dunia Pustaka Jaya Jalan Kramat Raya  No.K,Jakarta                                                                    10450 Hak cipta dilindungi undang-undang All Right Reserved
Dicetak oleh                    : PT. Surya Multi Grafika
ISBN                                : 979-419-311-9
Tebal                                : 163 halaman (89 judul puisi)
Disain cover                    : Deddy S

Biografi singkat WS Rendra:


W.S. Rendra, yang bernama asli Willibrodus Surendra Broto, lahir di Solo pada tanggal 7 November 1935 dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional. Ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra berada di kota kelahirannya.
Penyair dan budayawan yang diberi julukan si “Burung Merak” ini menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Kamis (6/8) pukul 22.20 WIB pada usia 74 tahun. Ribuan pelayat menghadiri proses pemakaman dramawan WS Rendra di kompleks pemakaman keluarga di kawasan Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8) siang.
Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, Solo. Setamat SMA, Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu, ia pergi ke Yogyakarta dan masuk Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya, tidak berarti ia berhenti belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika. Ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat. Rendra diberi julukan si Burung Merak.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerpen, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya. Sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat, W.S. Rendra sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut, terutama dalam majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, yang dipentaskan ketika ia di SMP. “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Puisinya penuh nilai dan moral serta berenergi dalam membangun negeri ini karena banyaknya ketidakpedulian dan pengabaian, dan dalam menegakkan jiwa karena adanya penyimpangan dan kesewenang-wenangan.
Prof. A. Teeuw, dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. Karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival di luar negeri, di antaranya:
1. The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979),
2. The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985),
3. Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985),
4. The First New York Festival Of the Arts (1988),
5. Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989),
6. World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan
7. Tokyo Festival (1995).
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang perhatiannya sangat besar terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul "Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977".

Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi ke Amerika. Ketika kembali ke Indonesia ( 1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis kegiatan keseniannya. Pada perkembangannya Bengkel Teater dipindahkan Rendra di Depok. Rendra menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Kamis, 6 Agustus 2010 pukul 22.20 WIB pada usia 74 tahun. Ribuan pelayat menghadiri proses pemakaman dramawan W.S. Rendra di kompleks pemakaman keluarga, di kawasan Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa Barat. Kini Rendra telah meninggalkan dunia untuk selamanya, tetapi puisi dan semua karya sastranya tidak pernah mati.


RESENSI BUKU   ‘’EMPAT KUMPULAN SAJAK’’

Empat Kumpulan Sajak merupakan buku kumpulan sajak kedua karya W.S. Rendra sesudah Balada Orang-Orang Tercinta (1957). Buku kumpulan sajak itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1961 oleh PT Pembangunan, Jakarta. Tujuh belas tahun kemudian, yaitu tahun 1978, kumpulan sajak ini diterbitkan ulang oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. Dalam katalog penerbitan buku oleh PT Dunia Pustaka Jaya, Empat Kumpulan Sajak termasuk kategori "Seri Pustaka Sajak" yang cukup laris di pasaran. Terbukti, buku Empat Kumpulan Sajak karya W.S. Rendra pada tahun 1994 sudah memasuki cetakan ketujuh. Gambar jilid buku setebal 163 halaman itu dibuat oleh Yus Rusamsi dan dicetak oleh PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
 Sesuai dengan nama judul buku ini, Empat Kumpulan Sajak, memuat 4 (bab atau bagian) kumpulan sajak yang berisi masalah-masalah percintaan W.S. Rendra ketika masih zaman muda remajanya dahulu, tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Setiap bagian atau bab dalam buku Empat Kumpulan Sajak itu berjudul: (1) "Kakawin Kawin" memuat 20 sajak, (2) "Malam Stanza" memuat 29 sajak, (3) "Nyanyian dari Jalanan" memuat 20 sajak, dan (4) "Sajak-Sajak Dua Belas Perak" memuat 20 sajak. Jadi, secara keseluruhan sajak yang termuat dalam buku ini ada 89 sajak.
                Bagian pertama, "Kakawin Kawin" memuat 20 sajak yang terbagi menjadi dua subbagian, yaitu subbagian "Romansa" memuat 11 sajak yang berisi surat percintaan kepada kekasihnya, Sunarti, hingga ke sajak tentang pelamaran untuk meminang Sunarti sebagai istri dan calon ibu anak-anaknya. Sementara itu, pada subbagian kedua, "Ke Altar dan Sesudahnya", memuat 9 sajak yang berisi tentang sajak "Undangan" untuk pernikahannya dengan Sunarti, sajak-sajak upacara pernikahan pengantin muda di Gereja Santa Josef, Yogyakarta, hingga pada malam-malam pengantinnya yang penuh gairah dan semangat romantisme.

Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur mainan
anak-anak peri dunia yang gaib.
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah
Wahai, Dik Narti,
aku cinta kepadamu!
......

Puisi diatas adalah salah satu karya Rendra yang dimuat dalam kakawin subbab romansa, puisi tersebut adalah ungkapan perasaan Rendra kepada Sunarti, istri pertamanya. Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel   Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunart

 Bagian kedua buku kumpulan sajak ini, "Malam Stanza", memuat 29 sajak-sajak bulan madunya bersama istrinya Sunarti Suwandi. Masa-masa bulan madu yang penuh keindahan dan kebahagiaan yang tiada tara itu dilukiskan dalam sajak-sajaknya, antara lain "Kali Hitam", "Batu Hitam", "Mata Hitam", "Burung Hitam", "Lagu Duka", "Lagu Sangsi", "Lagu Angin", "Lagu Ibu", "Lagu Serdadu", dan "Stanza".

Kali Hitam
Kali hitam lewat dengan keluh kesah
kawanan air dari tanah tak bernama
Kali hitam lewat di tanah rendah
Kali hitam beralur di dasar dada.

Mengalir ia. Mengalir. entah dari mana.
Rahasia pertapa dan nestapa.
Sunyi yang lahir dari Tanya.
Betapa menjalar ia, lidah yang berbisa!
......

                Berikut adalh puisi pertama di bagian kedua yaitu malam stanza. Puisi puisi yang dimuat di bagian ini memiliki sifat kedewasaan dan feminisme. Puisi-puisi dibagian ini juga tergolong puisi yang singkat, karena hanya terdiri dari tidak lebih dari 10 baris. Puisi di malam stanza ini ditujukan untuk menceritakan bulan madu bersam istri pertamanya yaitu Sunarti. Keromantisan dan momen-momen tak terlupakan terekam jelas di puisi- puisi malam stanza.

Bagian ketiga dari buku Empat Kumpulan Sajak, "Nyanyian dari Jalanan", memuat 20 sajak tentang perantauan penyair menyusuri liku-liku kehidupan ibukota Republik Indonesia, Jakarta, baik pada siang maupun malam hari. Dalam upayanya menafkahi anak dan istrinya, penyair rela pergi merantau meninggalkan Yogyakarta untuk mengembara di Jakarta. Namun, apa yang ditemuai di ibukota negeri tercinta ini? Penyair menjumpai Sungai Ciliwung yang kotor, bau busuk menyengat di sepanjang bantaran sungai, dan kalau musim penghujan terjadi banjir. Jakarta kotor, penuh polusi, dan tidak sehat bagi kesehatan manusia. Selain itu, kehidupan remang-remang kota Jakarta yang menampilkan potret seorang ronggeng, penjaja sek komersial di malam hari, dan anak jalanan yang lain mewarani bagian ketiga buku kumpulan sajak ini. Berikut contoh puisinya :

Ciluwung

Ciliwung kurengkuh dalam nyanyi
kerna punya coklat kali Solo.
Mama yang bermukim dalam cinta
dan berulang kusebut dalam sajak
wajahnya tipis terapung
dalam jati yang tembaha.
Hanyutlah mantra-mantra dari dukun
hati menemu segala yang hilang.
Keharuan adalah tonggak setiap ujung
dan air tertumpah dari mata-mata di langit.
Kali coklat menggeliat dan menggeliat.
Wajahnya penuh lingkarang-lingkaran bunda!
Katakanlah dari hulu mana
mengalir wajah-wajah gadis
rumah tua di tanah ibu
ketapang yang kembang, kembang jambu berbulu
dan bibir kekasih yang kukunyah dulu.
Katakanlah, Paman Doblang, katakanlah
dari hulu mana mereka datang:
manisnya madu, manisnya kenang,
Dan pada hati punya biru bunga telang
pulanglah segala yang hilang.

Bagian keempat atau bab penutup dalam buku Empat Kumpulan Sajak, "Sajak-Sajak Dua Belas Perak" ini menampilkan 20 sajak yang berisi kenangan dan kesepian penyair dalam perantauan. Sajak-sajak yang terdapat dalam bagian keempat ini dipersembahkan secara beramai-ramai kepada: Fransiskus Sudibyanto, Pater Dick, Matheus Suwanto Suwandi, Subagio Slamet, Sutiyono Darsosentono, Lian Sahar, Sunarto Pr., dan Kirdjomulyo. Berikut salah satu contoh puisi yang dimuat dalam bagian keempat:


Kenangan dan Kesepian

Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa dan
sawah dan bambu.

Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.

Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.

Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu.







E-mail     : mhmdamndn23@gmail.com


Sinopsis Naskah Drama Berjudul "KERETA KENCANA" karya Eugene Ionesco


NASKAH DRAMA KERETA KENCANA

Karya : Eugene Ionesco
Sinopsis singkat:

Drama Kereta Kencana menceritakan tentang dua orang tua telah berusia dua abad menunggu sebuah kereta kencana. Kereta kencana dengan sepuluh ekor kuda, satu warna. Lama ditunggu, kereta itu tal juga tiba. Sementara suara- suara yang mengatakan mereka akan segera dijemput terus saja berkumandang. Membuat mereka merasa semakin dekat dengan kematian. Dua orang yang kesepian ini tidak mempunyai anak, dua orang yang memiliki kejayaan masa lalu namun dimasa tuanya hanya bisa berkhayal agar kematian yang segera menjemput mereka berdua dapat menjadi suatu yang bermakna.

Drama ini menjadi sangat menarik dikarenakan penulisan yang mengambil latar belakang keadaan masa tua yang  tidak kunjung habis. Selalu dilalui dengan monotone namun terlihat dimana penulis menyampaikan isi yang sesungguhnya tetang kehidupan yang menjadi lebih terkesan membosankan. Dua orang tua ini tidak terlihat mengeluh dalam menunggu kereta yang tak kunjung menjemputnya. Hari – hari dilalui dengan duduk disebuah kursi goyang.

 Si Nenek bercanda mesra dengan Kakek. Tak jarang mereka membahas kembali masa lalu yang terlewat sudah. Kakek selalu bercumbu rayu, terkadang merayu sedikit, dan selalau diakhiri dengan kebosanan. Bilamana sudah bosan, mereka kembali bernostalgia, sesekali melihat kejendela, apakah sudah datang kereta yang mereka tunggu. Dua orang tua itu tak beda halnya seperti bermain main. Mereka saling membangun pendirian, menghibur masing-masing, bercanda tertawa, bersenda guarau, sampai pertengkaran tak jarang menghiasi kesepian mereka.

 Setelah berlalu, mereka hanyalah terdiam terpaku menunggu. Kebosanan semakin menjadi, mereka kembali berfikir tentang kehidupan kedepannya. Melihat jendela kembali, dan tak datang pula. Percakapan yang hanya melibatkan dua orang ini sangat tidak membosankan, diakarenakan bahasa dari drama ini sangatlah indah dan berbagi kiasan bahasa yang bervariasi.

Puncak dari drama ini, tak kala mereka benar – benar jenuh. Lalu saling mencerca satu sama lain. Pertengkaran semakin menjadi. Ditengah suasana malam yang mencekam. Mereka saling menyalahkan dan beradu argument, selalu terkekang dalam ruangan dan jendela merepat mempercepat ataukah memperlambat waktu kematian mereka. Sungguh kesepian dan kebosannan yang selalu mengiasi drama ini. Pertengkaran berakhir ketika Kakek mendapat serang jantung, lalu sekejap tergelatak di kursi goyangnya yang telah tua seperti umurnya. Sontak Nenek sangat terpukul, lalu melakukan berbagai cara agar Kakek dapat tersadar kembali. Nenek pun berdiaolog snediri, meminang dan bernostalgia kisah cintanya dengan Kakek. Sesekali Nenek melihat jendela, kereta kencana belum juga tiba.

 Ditengah dialog Nenek, tiba – tiba Kakek tersadar, dan kembali bercengkarama dengan Nenek, Kakek merayu mesra Nenek, persis ketika Kakek melamar Nenek. Mereka kembali bercanda, bermimpi, bernostalgia. Tak jarang Kakek menuturkan mimpinya ketika kedarannya tak terkendali. Dia membayangkan sebuah kereta kenca menghampiri kediaman mereka yang sederhana, hayalah kursi tua pemanis ruangan tersebut, perabotan rumah yang lain sudah using, dan tak dapat dipergunakan lagi.


Mengenal Eugene Ionesco



Eugène Ionesco adalah penulis drama Rumania dan Prancis. Ionesco lahir di Slatina, Provinsi Olt, Rumania. Lahir: 26 November 1909, Slatina, Romania. Beliau meninggal: 28 Maret 1994, Paris, Perancis. Memiliki satu pasangan yaitu Rodica Burileanu (1936–1994). Beliau merupakan penulis naskah drama asli berjudul Kereta Kencana . Naskah drama ini pernah dipentaskan oleh W.S Rendra.

Minggu, 03 November 2019

Resensi Kumpulan Puisi "Aku Ini Binatang Jalang" karya Chairil Anwar


 Chairil Anwar


Judul                : Aku Ini Binatang Jalang
Penulis             : Chairil Anwar
Cetakan           : Juli, 2011
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
ISBN                : 978-979-22-277-2

Dalam kumpulan puisi Chairil Anwar, sebagian puisinya berkisah tentang pengalaman pribadinya, percintaan dengan kekasihnya, dan perenungan-perenungan eksistensialnya tentang kehidupan, ibu, pemberontakan, individualisme,  dan terlebih lagi tentang kematian. Chairil Anwar tidak seperti Rendra maupun Taufiq yang puisinya banyak menyampaikan kritik sosial dan mengkritisi rezim penguasa. Chairil Anwar lebih sering berkisah tentang keping-keping pengalaman hidup pribadi yang dihayatinya. Selain itu, hampir semua puisi karya Chairil Anwar juga merujuk pada kematian.

Senja Di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Karya : Chairil Anwar (1946)

Contoh Puisi Chairil Anwar yang merupakan puisi tentang kisah percintaan dia dengan kekasihnya yaitu puisi “Senja di Pelabuhan kecil”, Chairil biasanya orang yang tegar dan selalu optimis dalam segala hal tetapi puisi ini dia merasa pesimis karena cintanya sudah kandas. Sehingga puisi ini seakan-akan menjadi melankonis karena sajaknya berisi tentang ratapan dan kesedihan Chairil Anwar dalam memikirkan nasib yang benar-benar tidak bisa dirubah. Tetapi emosi Chairil yang menguasai puisi ini, menyebabkan sajaknya tidak terlalu terlihat sedih.

Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku  mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
                Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang
                Biar peluru menembus kulitku
                Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
                Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi!

Hal ini berbeda dengan puisi Chairil yang menunjukkan ketegaran dan kekuatan Chairil. Seperti yang tergambar dalam puisinya yang berjudul “ Aku”. Penyair menulis puisi ini karena penyair ingin menunjukkan keindividualan. Chairil membawa semangat lewat puisi tersebut karena pada saat itu orang Indonsia belum ada yang meng-akukan dirinya. Pada salah satu bait dalam puisi tersebut terdapat kesadaran penyair peran dalam hidupnyayang mengharuskan adanya tindakan agar tidak terpengaruh oleh orang lain. Chairil berpikiran bahwa pengaruh orang lain dapat membuat dirinya kehilangan kemerdekaannya. Selain puisi-puisi diatas, dalam buku kumpulan puisi Chairil Anwar juga terdapat puisi-puisi yang mempunyai kisah tentang ibu, kematian, kehidupan pribadi, dan sebagainya.



Biografi Chairil Anwar :



Chairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
            Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.