GADIS DESA
Karya : Pramoedya Ananta Toer
Judul : Gadis Pantai
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Jenis : Novel fiksi
Sastra Angkatan :
1970 an (pertama kali terbit)
Tahun terbit
: September 2011 (cetakan ke-7)
Jumlah halaman :
272 halaman
Resensi :
Sebuah karya berjudul Gadis
Pantai karya Pramodya Ananta Toer ini menceritakan tentang seorang gadis
belia yang berasal dari kampung nelayan di pesisir Utara Jawa Tengah, Kabupaten
Rembang. Gadis belia berusia empat belas tahun itu cukup manis, dengan kulit
langsat, mata agak sipit dan tubuh mungil, gadis itu menjadi bunga kampung
nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.
Suatu hari seorang utusan pembesar dari kota Jawa Tengah
datang ke kampung gadis pantai untuk menyampaikan pesan bahwa Bendoronya ingin
menjadikan gadis pantai sebagai istrinya. Dinikahkanlah gadis pantai dengan
sebilah keris, dan keesokkan harinya dengan ditemani bapak dan emaknya beserta
kepala kampung dan beberapa warga, gadis pantai itu diantar ke kota menuju
tempat persinggahan pembesar yang menjadikannya istri.Sebutan bendoro putri
telah melekat pada sosok gadis pantai. Kini derajat gadis pantai lebih tinggi
dibadingkan dengan warga di kampungnya. Sebuah dokar yang sudah disiapkan oleh
bendoro untuk menjemput gadis pantai tersebut berhenti tepat didepan gedung
bertingkat berdinding batu.
Ditinggalkannya segala kegiatan dan aktivitasnya di
kampung nelayan, dilupakannya segala suasana kampung nelayan. Menumbuk udang
kering, menjahit layar dan jala, lari larian di pasir pantai, bergurau bersama
teman temannya, semua itu tidak dapat ia lakukan lagi. Kini ia harus tinggal di
dalam gedung besar bertingkat berdinding batu itu. Membantu mengurus dan
memerintah di kompleks keresidenan, paviliun, kandang kandang dan bahkan sebuah
masjid. Segala keperluan dan kebutuhannya hanya tinggal memerintah saja. Gadis
pantai dilayani oleh banyak bujang. Namun hanya ada satu seorang perempuan tua
yang menjadi pelayan setia dan terdekatnya. Pelayan yang selalu membantunya,
selalu mengajarinya kehidupan di dalam gedung itu, dan yang mengajarinya pula
bagaimana cara melayani dan bersikap kepada bendoro.
Lewat pelayan tua itulah gadis pantai sadar, bahwa ia
diambil pembesar ke kota bukan sebagai istrinya. Melainkan, Ia diambil oleh
seorang pembesar untuk menjadi gundik pembesar itu dan menjadi seorang Mas
Nganten (perempuan pemuas kebutuhan seks pembesar / istri percobaan priyayi).
Walaupun menjadi perempuan utama di gedung itu, gadis pantai harus tetap tunduk
dan menaati segala perintah bendoro (suaminya sendiri). Bahkan segala kegiatan
dan aktivitasnya harus melalui izin bendoro terlebih dahulu. Gadis itu bagaikan
berada dalam penjara. Bendoro pun sering meninggalkannya beberapa hari, hingga
tujuh haripun pernah. Namun, ia kembali sadar bahwa ia hanyalah seorang Mas
Nganten, ia bukan istri bendoro yang sesungguhnya. Kamar mereka berdua pun
terpisah, bendoro akan tidur di kamar gadis pantai itu ketika bendoro sedang
menginginkannya.
Suatu ketika Gadis Pantai kehilangan uang untuk belanja
persiadaan makanan yang diberikan oleh bendoro. Saat itu gadis pantai sangat
kebingungan karena takut bedoro murka terhadapnya. Namun ia sangat yakin bahwa
tidak ada yang masuk di kamarnya kecuali dirinya, pelayan tua dan para agus
(pemuda pemuda yang belajar di gedung itu) yang tadi membersihkan kamar gadis
pantai. Gadis pantai sangat percaya pada pelayan tua yang sudah setia
melayaninya selama dua tahun ia berada di gedung itu. Akhirnya ia bersama
pelayan tua itu menemui para agus dan menanyainya. Namun, karena mereka tidak
ada yang mengaku akhirnya gadis pantai dan pelayan tua menghadap pada bendoro.
Setelah kejadian itupun pelayan tua diusir dari gedung itu karena sudah lancang
menuduh para agus. Tinggallah gadis pantai sendirian tanpa ada pelayan
setianya.
Hari demi hari ia jalani sendiri tanpa bantuan pelayan
tua, dan tibalah seorang bujang baru bernama mardina -utusan bupati demak- ,
dia seorang anak jurutulis dari kota yg diutus bupati demak untuk melayani
gadis pantai, mardinah sendiri masih termasuk kedalam kerabat bendoro (suami
gadis pantai). Namun, kedatangannya bukan sekedar melayani gadis pantai saja,
ia sangat berani dan selalu menantang gadis pantai. Lewat mardinah gadis pantai
tau bahwa bendoro demak ingin menikahkan bendoro (suami gadis pantai) dengan
perempuan bangsawan yang sederajat dengannya. Karena seorang pembesar dianggap
masih perjaka apabila belum menikah dengan sesama bangsawannya, walaupun sudah
berulang kali menikah dengan gadis kampung.
Kegelisahan mulai muncul pada diri gadis pantai. Tiga
tahun sudah gadis pantai berada dalam gedung bertingkat itu dan ia mulai
mengandung putra dari bendoro. Sembilan bulan gadis pantai mengandung dengan
diliputi rasa kerinduan dan kekosongan karena tidak ditemani oleh bendoro.
Janin yang dikandungnya pun dilahirkan dengan bantuan dukun bayi yang paling
ahli di kota itu. Seorang bayi perempuan mungil kini ada dalam pangkuannya,
namun setelah seminggu kelahirannya bendoro tak kunjung melihatnya. Gadis
pantai sangat gelisah, kepada siapa bayi itu akan diserahkan kalau tidak pada
bapaknya sendiri.
Tiga bulan setelah kelahiran putrinya, akhirnya bapak
gadis pantai datang menemuinya ke gedung itu. Bapaknya memang sengaja diutus
oleh bendoro untuk menjemput gadis pantai pulang kembali ke kampung nelayan.
Ada hal yang paling menyakitkan selain gadis pantai diceraikan oleh bendoro,
yaitu gadis pantai harus meninggalkan gedung itu dan tidak boleh lagi
menginjakkan kaki di kota tempat bendoro tinggal dengan tidak membawa anakknya
sendiri. Ia harus kembali pada kampung nelayannya dan meninggalkan anaknnya
pada gedung berdinding batu itu.Hal yang sangat menyakitkan bagi gadis pantai
ketika meninggalkan anaknya. Namun, ia tidak dapat berbuat apa apa, mengingat
ia adalah hanya seorang sahaya dan rakyat kampung.
Hidup kembali pada kampung yang melahirkannya adalah
impiannya saat ia di kota. Namun, rasa malunya jauh lebih besar daripada rasa
kerinduan pada kampung halaman. Akhirnya, ia izin kepada bapaknya untuk
meninggalkan kota dan kampung nelayannya untuk tinggal di kota kecil Blora dan
berusaha mencari pelayan tua yang dulu setia dengannya untuk tinggal bersama.
Biografi Singkat Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah,
tanggal 6 Februari 1925. Ayahnya adalah seorang guru yang mula-mula bertugas di
HIS di kota Rembang, kemudian menjadi kepala guru di sekolah swasta di Boedi
Oetomo sampai menjadi kepala sekolah tersebut. Ibunya anak seorang penghulu di
Rembang. Pada tahun 1950 ia menikah dengan wanita yang sering datang ke penjara
ketika ia di penjara. Pramoedya Ananta Toer menamatkan pendidikan di sekolah
rendah (sekolah dasar) Institut Boedi Oetomo di Blora. Kemudian, ia melanjutkan
pendidikan selama 1,5 tahun ke Sekolah Teknik Radio Surabaya (Radio Volkschool
Surabaya) di Surabaya (1940—1941). Pada tahun 1942 Pramoedya pergi ke Jakarta.
Ia bekerja di kantor Berita Jepang Domei sebagai juru ketik. Sambil bekerja, ia
mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942—1943) dan mengikuti kursus di Sekolah
Stenografi (1944—1945). Selanjutnya, ia kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta
(1945) dalam mata kuliah filsafat, sosiologi, dan sejarah. Pada tahun 1945 ia
keluar dari tempa kerjanya, yaitu Kantor Berita Jepang Domei dan pergi
menjelajahi Pulau Jawa. Pada tahun 1946 Pramoedya menjadi anggota Resimen 6
Devisi dengan pangkat letnan dua Tentara Keamanan Rakyat yang ditempatkan di
Cikampek. Ia kembali ke Jakarta tahun 1947. Tanggal 22 Juli 1947 ia ditangkap
marinir Belanda karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda.
Kemudian, ia ditahan di penjara pemerintah Belanda di Pulau Edam dan di di
Bukit Duri, Jakarta, sampai tahun 1949. Pada tahun 1950—1951 ia bekerja di
Balai Pustaka sebagai redaktur. Pada tahun 1952 Pramoedya mendirikan dan
memimpin Literary dan Fitures Agency Duta sampai tahun 1954. Tahun 1953 ia
pergi ke Belanda sebagai tamu Sticusa (Yayasan Belanda Kerja Sama Kebudayaan).
Tahun 1956 ia berkunjung ke Peking, Tiongkok, untuk menghadiri peringatan hari
kematian Lu Sun. Pada tahun 1958 Pramoedya Ananta Toer anggota Pimpinan Pusat
Lembaga Kesenian Jakrta (Lekra) yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia
(PKI). Keterlibatnnya dengan Lekra menjadikannya harus berhadapan dengan
seniman yang tidak sealiran, terutama yang menentang PKI, seperti dalam
penandatanganan Manifestasi Kebudayaan. Pada tahun 1962 ia menjabat redaktur
Lentera. Selain itu, ia juga menjadi dosen di Fakultas Sastra, Universitas Res
Publika, Jakarta, sebagai dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai. Pada masa
kejatuhan Partai Komunis Indonesia, Pramoedya dibuang ke Pulau Buru karena
dianggap terlibat PKI yang saat itu PKI hendak menggulingkan pemerintah
Republik Indonesia tanggal 30 September 1960. Ketika terjadi penangkapan
terhadapnya, ia mendapatkan penyiksaan. Setelah itu, ia dipenjara di Tangerang,
Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun hidup di pengasingan Pulau Buru.
Karyanya yang ditulis selama dalam pengasingan itu pada umumnya dilarang
diedarkan oleh Kejaksaan Agung. Setelah rezim Orde Baru jatuh, (1998),
Pramoedya Ananta Toer dibebaskan dari pengasingan di Pulau Buru.