Judul : Aku Ini Binatang Jalang
Penulis : Chairil Anwar
Cetakan : Juli, 2011
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
ISBN : 978-979-22-277-2
Dalam kumpulan puisi Chairil
Anwar, sebagian puisinya berkisah tentang pengalaman pribadinya, percintaan
dengan kekasihnya, dan perenungan-perenungan eksistensialnya tentang kehidupan,
ibu, pemberontakan, individualisme, dan
terlebih lagi tentang kematian. Chairil Anwar tidak seperti Rendra maupun
Taufiq yang puisinya banyak menyampaikan kritik sosial dan mengkritisi rezim
penguasa. Chairil Anwar lebih sering berkisah tentang keping-keping pengalaman
hidup pribadi yang dihayatinya. Selain itu, hampir semua puisi karya Chairil
Anwar juga merujuk pada kematian.
Senja Di Pelabuhan Kecil
Ini
kali tidak ada yang mencari cinta
di
antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang
serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus
diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis
mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung
muram, desir hari lari berenang
menemu
bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan
kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada
lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir
semenanjung, masih pengap harap
sekali
tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari
pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Karya
: Chairil Anwar (1946)
Contoh Puisi Chairil Anwar yang
merupakan puisi tentang kisah percintaan dia dengan kekasihnya yaitu puisi “Senja di Pelabuhan kecil”, Chairil
biasanya orang yang tegar dan selalu optimis dalam segala hal tetapi puisi ini
dia merasa pesimis karena cintanya sudah kandas. Sehingga puisi ini seakan-akan
menjadi melankonis karena sajaknya berisi tentang ratapan dan kesedihan Chairil
Anwar dalam memikirkan nasib yang benar-benar tidak bisa dirubah. Tetapi emosi
Chairil yang menguasai puisi ini, menyebabkan sajaknya tidak terlalu terlihat
sedih.
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku
mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi!
Hal ini berbeda dengan puisi
Chairil yang menunjukkan ketegaran dan kekuatan Chairil. Seperti yang tergambar
dalam puisinya yang berjudul “ Aku”.
Penyair menulis puisi ini karena penyair ingin menunjukkan keindividualan.
Chairil membawa semangat lewat puisi tersebut karena pada saat itu orang
Indonsia belum ada yang meng-akukan dirinya. Pada salah satu bait dalam puisi
tersebut terdapat kesadaran penyair peran dalam hidupnyayang mengharuskan
adanya tindakan agar tidak terpengaruh oleh orang lain. Chairil berpikiran
bahwa pengaruh orang lain dapat membuat dirinya kehilangan kemerdekaannya. Selain
puisi-puisi diatas, dalam buku kumpulan puisi Chairil Anwar juga terdapat
puisi-puisi yang mempunyai kisah tentang ibu, kematian, kehidupan pribadi, dan
sebagainya.
Chairil Anwar adalah seorang
penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya
berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007,
Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi
penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman
sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil Anwar dilahirkan di
Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama
Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah,
Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh,
Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir,
Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup
berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas
perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS),
sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia
kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia
mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya
yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian
orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan
dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai
bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya
dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M.
Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du
Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak
langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar