Minggu, 03 November 2019

Resensi Kumpulan Puisi "Aku Ini Binatang Jalang" karya Chairil Anwar


 Chairil Anwar


Judul                : Aku Ini Binatang Jalang
Penulis             : Chairil Anwar
Cetakan           : Juli, 2011
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
ISBN                : 978-979-22-277-2

Dalam kumpulan puisi Chairil Anwar, sebagian puisinya berkisah tentang pengalaman pribadinya, percintaan dengan kekasihnya, dan perenungan-perenungan eksistensialnya tentang kehidupan, ibu, pemberontakan, individualisme,  dan terlebih lagi tentang kematian. Chairil Anwar tidak seperti Rendra maupun Taufiq yang puisinya banyak menyampaikan kritik sosial dan mengkritisi rezim penguasa. Chairil Anwar lebih sering berkisah tentang keping-keping pengalaman hidup pribadi yang dihayatinya. Selain itu, hampir semua puisi karya Chairil Anwar juga merujuk pada kematian.

Senja Di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Karya : Chairil Anwar (1946)

Contoh Puisi Chairil Anwar yang merupakan puisi tentang kisah percintaan dia dengan kekasihnya yaitu puisi “Senja di Pelabuhan kecil”, Chairil biasanya orang yang tegar dan selalu optimis dalam segala hal tetapi puisi ini dia merasa pesimis karena cintanya sudah kandas. Sehingga puisi ini seakan-akan menjadi melankonis karena sajaknya berisi tentang ratapan dan kesedihan Chairil Anwar dalam memikirkan nasib yang benar-benar tidak bisa dirubah. Tetapi emosi Chairil yang menguasai puisi ini, menyebabkan sajaknya tidak terlalu terlihat sedih.

Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku  mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
                Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang
                Biar peluru menembus kulitku
                Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
                Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi!

Hal ini berbeda dengan puisi Chairil yang menunjukkan ketegaran dan kekuatan Chairil. Seperti yang tergambar dalam puisinya yang berjudul “ Aku”. Penyair menulis puisi ini karena penyair ingin menunjukkan keindividualan. Chairil membawa semangat lewat puisi tersebut karena pada saat itu orang Indonsia belum ada yang meng-akukan dirinya. Pada salah satu bait dalam puisi tersebut terdapat kesadaran penyair peran dalam hidupnyayang mengharuskan adanya tindakan agar tidak terpengaruh oleh orang lain. Chairil berpikiran bahwa pengaruh orang lain dapat membuat dirinya kehilangan kemerdekaannya. Selain puisi-puisi diatas, dalam buku kumpulan puisi Chairil Anwar juga terdapat puisi-puisi yang mempunyai kisah tentang ibu, kematian, kehidupan pribadi, dan sebagainya.



Biografi Chairil Anwar :



Chairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
            Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar