Judul buku : Empat Kumpulan Sajak
Rendra
Cetakan Kedua
: 1978, Dunia Pustaka Jaya Jalan Kramat Raya No.K,Jakarta 10450 Hak cipta dilindungi undang-undang All Right Reserved
Dicetak oleh : PT. Surya Multi Grafika
ISBN :
979-419-311-9
Tebal : 163 halaman
(89 judul puisi)
Disain cover : Deddy S
Biografi singkat WS
Rendra:
W.S. Rendra, yang bernama asli
Willibrodus Surendra Broto, lahir di Solo pada tanggal 7 November 1935 dari
pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.
Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di sekolah
Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional. Ibunya adalah penari
serimpi di Keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra berada di kota
kelahirannya.
Penyair dan budayawan yang diberi
julukan si “Burung Merak” ini menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Mitra
Keluarga Depok, Kamis (6/8) pukul 22.20 WIB pada usia 74 tahun. Ribuan pelayat
menghadiri proses pemakaman dramawan WS Rendra di kompleks pemakaman keluarga
di kawasan Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8) siang.
Ia memulai pendidikannya dari TK
(1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah
Katolik, Solo. Setamat SMA, Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di
Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu, ia pergi ke
Yogyakarta dan masuk Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak
menyelesaikan kuliahnya, tidak berarti ia berhenti belajar. Pada tahun 1954 ia
memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika. Ia mendapat
beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti
seminar kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Rendra diberi julukan si Burung Merak.
Bakat sastra Rendra sudah mulai
terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan
kemampuannya dengan menulis puisi, cerpen, dan drama untuk berbagai kegiatan
sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia
mementaskan beberapa dramanya. Sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat, W.S.
Rendra sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan
puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu,
puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti
Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut,
terutama dalam majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
“Kaki Palsu” adalah drama
pertamanya, yang dipentaskan ketika ia di SMP. “Orang-Orang di Tikungan Jalan”
adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu
ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk
berkarya. Puisinya penuh nilai dan moral serta berenergi dalam membangun negeri
ini karena banyaknya ketidakpedulian dan pengabaian, dan dalam menegakkan jiwa
karena adanya penyimpangan dan kesewenang-wenangan.
Prof. A. Teeuw, dalam bukunya
Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan
Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok
seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karyanya
terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. Karya Rendra
tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak
karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa
Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival
di luar negeri, di antaranya:
1. The Rotterdam International Poetry
Festival (1971 dan 1979),
2. The Valmiki International Poetry
Festival, New Delhi (1985),
3. Berliner Horizonte Festival,
Berlin (1985),
4. The First New York Festival Of
the Arts (1988),
5. Spoleto Festival, Melbourne,
Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989),
6. World Poetry Festival, Kuala
Lumpur (1992), dan
7. Tokyo Festival (1995).
Profesor Harry
Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang perhatiannya sangat besar
terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa
bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul A Thematic History of
Indonesian Poetry: 1920 to 1974. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang
pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi
yang berjudul "Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur
Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich
Reimer in Berlin: Hamburg 1977".
Pada tahun
1961, sepulang dari Amerika, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan
tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi ke Amerika. Ketika kembali ke
Indonesia ( 1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel
Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana
baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih
berdiri dan menjadi basis kegiatan keseniannya. Pada perkembangannya Bengkel
Teater dipindahkan Rendra di Depok. Rendra menghembuskan napas terakhir di
Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Kamis, 6 Agustus 2010 pukul 22.20 WIB pada
usia 74 tahun. Ribuan pelayat menghadiri proses pemakaman dramawan W.S. Rendra
di kompleks pemakaman keluarga, di kawasan Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa
Barat. Kini Rendra telah meninggalkan dunia untuk selamanya, tetapi puisi dan
semua karya sastranya tidak pernah mati.
RESENSI BUKU ‘’EMPAT KUMPULAN SAJAK’’
Empat Kumpulan Sajak merupakan
buku kumpulan sajak kedua karya W.S. Rendra sesudah Balada Orang-Orang Tercinta
(1957). Buku kumpulan sajak itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1961 oleh
PT Pembangunan, Jakarta. Tujuh belas tahun kemudian, yaitu tahun 1978, kumpulan
sajak ini diterbitkan ulang oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. Dalam
katalog penerbitan buku oleh PT Dunia Pustaka Jaya, Empat Kumpulan Sajak
termasuk kategori "Seri Pustaka Sajak" yang cukup laris di pasaran.
Terbukti, buku Empat Kumpulan Sajak karya W.S. Rendra pada tahun 1994 sudah
memasuki cetakan ketujuh. Gambar jilid buku setebal 163 halaman itu dibuat oleh
Yus Rusamsi dan dicetak oleh PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sesuai dengan nama judul buku ini, Empat
Kumpulan Sajak, memuat 4 (bab atau bagian) kumpulan sajak yang berisi
masalah-masalah percintaan W.S. Rendra ketika masih zaman muda remajanya
dahulu, tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Setiap bagian atau bab dalam buku
Empat Kumpulan Sajak itu berjudul: (1) "Kakawin Kawin" memuat 20
sajak, (2) "Malam Stanza" memuat 29 sajak, (3) "Nyanyian dari
Jalanan" memuat 20 sajak, dan (4) "Sajak-Sajak Dua Belas Perak"
memuat 20 sajak. Jadi, secara keseluruhan sajak yang termuat dalam buku ini ada
89 sajak.
Bagian pertama, "Kakawin
Kawin" memuat 20 sajak yang terbagi menjadi dua subbagian, yaitu subbagian
"Romansa" memuat 11 sajak yang berisi surat percintaan kepada
kekasihnya, Sunarti, hingga ke sajak tentang pelamaran untuk meminang Sunarti
sebagai istri dan calon ibu anak-anaknya. Sementara itu, pada subbagian kedua,
"Ke Altar dan Sesudahnya", memuat 9 sajak yang berisi tentang sajak
"Undangan" untuk pernikahannya dengan Sunarti, sajak-sajak upacara
pernikahan pengantin muda di Gereja Santa Josef, Yogyakarta, hingga pada
malam-malam pengantinnya yang penuh gairah dan semangat romantisme.
Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur mainan
anak-anak peri dunia yang gaib.
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah
Wahai, Dik Narti,
aku cinta kepadamu!
......
Puisi diatas adalah salah satu
karya Rendra yang dimuat dalam kakawin subbab romansa, puisi tersebut adalah
ungkapan perasaan Rendra kepada Sunarti, istri pertamanya. Baru pada usia 24
tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang
dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya
Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel
Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah
Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta,
yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas
Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan
memandikan keempat anak Rendra-Sunart
Bagian kedua buku kumpulan sajak ini,
"Malam Stanza", memuat 29 sajak-sajak bulan madunya bersama istrinya
Sunarti Suwandi. Masa-masa bulan madu yang penuh keindahan dan kebahagiaan yang
tiada tara itu dilukiskan dalam sajak-sajaknya, antara lain "Kali
Hitam", "Batu Hitam", "Mata Hitam", "Burung
Hitam", "Lagu Duka", "Lagu Sangsi", "Lagu
Angin", "Lagu Ibu", "Lagu Serdadu", dan
"Stanza".
Kali Hitam
Kali hitam lewat dengan keluh kesah
kawanan air dari tanah tak bernama
Kali hitam lewat di tanah rendah
Kali hitam beralur di dasar dada.
Mengalir ia. Mengalir. entah dari mana.
Rahasia pertapa dan nestapa.
Sunyi yang lahir dari Tanya.
Betapa menjalar ia, lidah yang berbisa!
......
Berikut
adalh puisi pertama di bagian kedua yaitu malam stanza. Puisi puisi yang dimuat
di bagian ini memiliki sifat kedewasaan dan feminisme. Puisi-puisi dibagian ini
juga tergolong puisi yang singkat, karena hanya terdiri dari tidak lebih dari
10 baris. Puisi di malam stanza ini ditujukan untuk menceritakan bulan madu
bersam istri pertamanya yaitu Sunarti. Keromantisan dan momen-momen tak
terlupakan terekam jelas di puisi- puisi malam stanza.
Bagian ketiga dari buku Empat
Kumpulan Sajak, "Nyanyian dari Jalanan", memuat 20 sajak tentang
perantauan penyair menyusuri liku-liku kehidupan ibukota Republik Indonesia,
Jakarta, baik pada siang maupun malam hari. Dalam upayanya menafkahi anak dan
istrinya, penyair rela pergi merantau meninggalkan Yogyakarta untuk mengembara
di Jakarta. Namun, apa yang ditemuai di ibukota negeri tercinta ini? Penyair
menjumpai Sungai Ciliwung yang kotor, bau busuk menyengat di sepanjang bantaran
sungai, dan kalau musim penghujan terjadi banjir. Jakarta kotor, penuh polusi,
dan tidak sehat bagi kesehatan manusia. Selain itu, kehidupan remang-remang
kota Jakarta yang menampilkan potret seorang ronggeng, penjaja sek komersial di
malam hari, dan anak jalanan yang lain mewarani bagian ketiga buku kumpulan
sajak ini. Berikut contoh puisinya :
Ciluwung
Ciliwung kurengkuh dalam nyanyi
kerna punya coklat kali Solo.
Mama yang bermukim dalam cinta
dan berulang kusebut dalam sajak
wajahnya tipis terapung
dalam jati yang tembaha.
Hanyutlah mantra-mantra dari dukun
hati menemu segala yang hilang.
Keharuan adalah tonggak setiap ujung
dan air tertumpah dari mata-mata di langit.
Kali coklat menggeliat dan menggeliat.
Wajahnya penuh lingkarang-lingkaran bunda!
Katakanlah dari hulu mana
mengalir wajah-wajah gadis
rumah tua di tanah ibu
ketapang yang kembang, kembang jambu berbulu
dan bibir kekasih yang kukunyah dulu.
Katakanlah, Paman Doblang, katakanlah
dari hulu mana mereka datang:
manisnya madu, manisnya kenang,
Dan pada hati punya biru bunga telang
pulanglah segala yang hilang.
Bagian keempat atau bab penutup
dalam buku Empat Kumpulan Sajak, "Sajak-Sajak Dua Belas Perak" ini
menampilkan 20 sajak yang berisi kenangan dan kesepian penyair dalam
perantauan. Sajak-sajak yang terdapat dalam bagian keempat ini dipersembahkan
secara beramai-ramai kepada: Fransiskus Sudibyanto, Pater Dick, Matheus Suwanto
Suwandi, Subagio Slamet, Sutiyono Darsosentono, Lian Sahar, Sunarto Pr., dan
Kirdjomulyo. Berikut salah satu contoh puisi yang dimuat dalam bagian keempat:
Kenangan dan Kesepian
Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa dan
sawah dan bambu.
Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.
Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.
Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu.
E-mail : mhmdamndn23@gmail.com
E-mail : mhmdamndn23@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar