Minggu, 17 November 2019

Resensi buku kumpulan puisi W.S Rendra " Empat Kumpulan Sajak"






Judul buku                       : Empat Kumpulan Sajak Rendra
Cetakan Kedua               : 1978, Dunia Pustaka Jaya Jalan Kramat Raya  No.K,Jakarta                                                                    10450 Hak cipta dilindungi undang-undang All Right Reserved
Dicetak oleh                    : PT. Surya Multi Grafika
ISBN                                : 979-419-311-9
Tebal                                : 163 halaman (89 judul puisi)
Disain cover                    : Deddy S

Biografi singkat WS Rendra:


W.S. Rendra, yang bernama asli Willibrodus Surendra Broto, lahir di Solo pada tanggal 7 November 1935 dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional. Ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra berada di kota kelahirannya.
Penyair dan budayawan yang diberi julukan si “Burung Merak” ini menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Kamis (6/8) pukul 22.20 WIB pada usia 74 tahun. Ribuan pelayat menghadiri proses pemakaman dramawan WS Rendra di kompleks pemakaman keluarga di kawasan Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8) siang.
Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, Solo. Setamat SMA, Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu, ia pergi ke Yogyakarta dan masuk Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya, tidak berarti ia berhenti belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika. Ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat. Rendra diberi julukan si Burung Merak.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerpen, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya. Sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat, W.S. Rendra sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut, terutama dalam majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, yang dipentaskan ketika ia di SMP. “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Puisinya penuh nilai dan moral serta berenergi dalam membangun negeri ini karena banyaknya ketidakpedulian dan pengabaian, dan dalam menegakkan jiwa karena adanya penyimpangan dan kesewenang-wenangan.
Prof. A. Teeuw, dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. Karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival di luar negeri, di antaranya:
1. The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979),
2. The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985),
3. Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985),
4. The First New York Festival Of the Arts (1988),
5. Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989),
6. World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan
7. Tokyo Festival (1995).
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang perhatiannya sangat besar terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul "Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977".

Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi ke Amerika. Ketika kembali ke Indonesia ( 1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis kegiatan keseniannya. Pada perkembangannya Bengkel Teater dipindahkan Rendra di Depok. Rendra menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Kamis, 6 Agustus 2010 pukul 22.20 WIB pada usia 74 tahun. Ribuan pelayat menghadiri proses pemakaman dramawan W.S. Rendra di kompleks pemakaman keluarga, di kawasan Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa Barat. Kini Rendra telah meninggalkan dunia untuk selamanya, tetapi puisi dan semua karya sastranya tidak pernah mati.


RESENSI BUKU   ‘’EMPAT KUMPULAN SAJAK’’

Empat Kumpulan Sajak merupakan buku kumpulan sajak kedua karya W.S. Rendra sesudah Balada Orang-Orang Tercinta (1957). Buku kumpulan sajak itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1961 oleh PT Pembangunan, Jakarta. Tujuh belas tahun kemudian, yaitu tahun 1978, kumpulan sajak ini diterbitkan ulang oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. Dalam katalog penerbitan buku oleh PT Dunia Pustaka Jaya, Empat Kumpulan Sajak termasuk kategori "Seri Pustaka Sajak" yang cukup laris di pasaran. Terbukti, buku Empat Kumpulan Sajak karya W.S. Rendra pada tahun 1994 sudah memasuki cetakan ketujuh. Gambar jilid buku setebal 163 halaman itu dibuat oleh Yus Rusamsi dan dicetak oleh PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
 Sesuai dengan nama judul buku ini, Empat Kumpulan Sajak, memuat 4 (bab atau bagian) kumpulan sajak yang berisi masalah-masalah percintaan W.S. Rendra ketika masih zaman muda remajanya dahulu, tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Setiap bagian atau bab dalam buku Empat Kumpulan Sajak itu berjudul: (1) "Kakawin Kawin" memuat 20 sajak, (2) "Malam Stanza" memuat 29 sajak, (3) "Nyanyian dari Jalanan" memuat 20 sajak, dan (4) "Sajak-Sajak Dua Belas Perak" memuat 20 sajak. Jadi, secara keseluruhan sajak yang termuat dalam buku ini ada 89 sajak.
                Bagian pertama, "Kakawin Kawin" memuat 20 sajak yang terbagi menjadi dua subbagian, yaitu subbagian "Romansa" memuat 11 sajak yang berisi surat percintaan kepada kekasihnya, Sunarti, hingga ke sajak tentang pelamaran untuk meminang Sunarti sebagai istri dan calon ibu anak-anaknya. Sementara itu, pada subbagian kedua, "Ke Altar dan Sesudahnya", memuat 9 sajak yang berisi tentang sajak "Undangan" untuk pernikahannya dengan Sunarti, sajak-sajak upacara pernikahan pengantin muda di Gereja Santa Josef, Yogyakarta, hingga pada malam-malam pengantinnya yang penuh gairah dan semangat romantisme.

Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur mainan
anak-anak peri dunia yang gaib.
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah
Wahai, Dik Narti,
aku cinta kepadamu!
......

Puisi diatas adalah salah satu karya Rendra yang dimuat dalam kakawin subbab romansa, puisi tersebut adalah ungkapan perasaan Rendra kepada Sunarti, istri pertamanya. Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel   Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunart

 Bagian kedua buku kumpulan sajak ini, "Malam Stanza", memuat 29 sajak-sajak bulan madunya bersama istrinya Sunarti Suwandi. Masa-masa bulan madu yang penuh keindahan dan kebahagiaan yang tiada tara itu dilukiskan dalam sajak-sajaknya, antara lain "Kali Hitam", "Batu Hitam", "Mata Hitam", "Burung Hitam", "Lagu Duka", "Lagu Sangsi", "Lagu Angin", "Lagu Ibu", "Lagu Serdadu", dan "Stanza".

Kali Hitam
Kali hitam lewat dengan keluh kesah
kawanan air dari tanah tak bernama
Kali hitam lewat di tanah rendah
Kali hitam beralur di dasar dada.

Mengalir ia. Mengalir. entah dari mana.
Rahasia pertapa dan nestapa.
Sunyi yang lahir dari Tanya.
Betapa menjalar ia, lidah yang berbisa!
......

                Berikut adalh puisi pertama di bagian kedua yaitu malam stanza. Puisi puisi yang dimuat di bagian ini memiliki sifat kedewasaan dan feminisme. Puisi-puisi dibagian ini juga tergolong puisi yang singkat, karena hanya terdiri dari tidak lebih dari 10 baris. Puisi di malam stanza ini ditujukan untuk menceritakan bulan madu bersam istri pertamanya yaitu Sunarti. Keromantisan dan momen-momen tak terlupakan terekam jelas di puisi- puisi malam stanza.

Bagian ketiga dari buku Empat Kumpulan Sajak, "Nyanyian dari Jalanan", memuat 20 sajak tentang perantauan penyair menyusuri liku-liku kehidupan ibukota Republik Indonesia, Jakarta, baik pada siang maupun malam hari. Dalam upayanya menafkahi anak dan istrinya, penyair rela pergi merantau meninggalkan Yogyakarta untuk mengembara di Jakarta. Namun, apa yang ditemuai di ibukota negeri tercinta ini? Penyair menjumpai Sungai Ciliwung yang kotor, bau busuk menyengat di sepanjang bantaran sungai, dan kalau musim penghujan terjadi banjir. Jakarta kotor, penuh polusi, dan tidak sehat bagi kesehatan manusia. Selain itu, kehidupan remang-remang kota Jakarta yang menampilkan potret seorang ronggeng, penjaja sek komersial di malam hari, dan anak jalanan yang lain mewarani bagian ketiga buku kumpulan sajak ini. Berikut contoh puisinya :

Ciluwung

Ciliwung kurengkuh dalam nyanyi
kerna punya coklat kali Solo.
Mama yang bermukim dalam cinta
dan berulang kusebut dalam sajak
wajahnya tipis terapung
dalam jati yang tembaha.
Hanyutlah mantra-mantra dari dukun
hati menemu segala yang hilang.
Keharuan adalah tonggak setiap ujung
dan air tertumpah dari mata-mata di langit.
Kali coklat menggeliat dan menggeliat.
Wajahnya penuh lingkarang-lingkaran bunda!
Katakanlah dari hulu mana
mengalir wajah-wajah gadis
rumah tua di tanah ibu
ketapang yang kembang, kembang jambu berbulu
dan bibir kekasih yang kukunyah dulu.
Katakanlah, Paman Doblang, katakanlah
dari hulu mana mereka datang:
manisnya madu, manisnya kenang,
Dan pada hati punya biru bunga telang
pulanglah segala yang hilang.

Bagian keempat atau bab penutup dalam buku Empat Kumpulan Sajak, "Sajak-Sajak Dua Belas Perak" ini menampilkan 20 sajak yang berisi kenangan dan kesepian penyair dalam perantauan. Sajak-sajak yang terdapat dalam bagian keempat ini dipersembahkan secara beramai-ramai kepada: Fransiskus Sudibyanto, Pater Dick, Matheus Suwanto Suwandi, Subagio Slamet, Sutiyono Darsosentono, Lian Sahar, Sunarto Pr., dan Kirdjomulyo. Berikut salah satu contoh puisi yang dimuat dalam bagian keempat:


Kenangan dan Kesepian

Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa dan
sawah dan bambu.

Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.

Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.

Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu.







E-mail     : mhmdamndn23@gmail.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar